Jumat, 10 Februari 2012

Pasal-pasal Membingungkan dalam UU Perikanan

Pasal-pasal Membingungkan dalam UU Perikanan
Oleh Akhmad Solihin
UU Perikanan No 31/2004 yang dibanggakan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ternyata menyisakan masalah. Meski lebih lengkap dibanding UU sebelumnya dan memuat beberapa terobosan baru, namun belum mampu menuntaskan konflik antarnelayan karena masih kentalnya suasana sentralistik, serta tidak jelasnya sejumlah pasal.

Arif Satria dalam bukunya “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, mengidentifiksikan konflik nelayan menjadi empat macam. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di sekitar perairan pesisir yang sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional. Kedua, konflik orientasi yang terjadi antarnelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan panjang) dalam pemanfaatan sumber daya, seperti konflik horizontal antara nelayan yang menggunakan bom dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan. Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti konflik dengan para penambang pasir dan industri pariwisata.
Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah.
Pasal Bingung
UU Perikanan patut dipersalahkan sebagai pemicu konflik. Beberapa pasal tidak jelas sehingga daerah dan masyarakatnya bisa menafsirkan pasal-pasal bingung itu. Pasal-pasal itu di antaranya; Pertama, ketidakjelasan pengertian nelayan, khususnya nelayan kecil (Pasal 1). Disebutkan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten). Sungguh suatu pengertian yang sangat tidak jelas.
Apakah yang dikategorikan kecil tersebut, mereka yang kapal penangkap ikannya harus bermesin dalam (inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau perahu bercadik yang hanya menggunakan angin untuk pergerakannya, atau tingkat pendapatannya yang di bawah rata-rata. DKP harus memperjelas pengertian nelayan, khususnya nelayan kecil atau tradisional.
Kedua, kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia (Pasal 61). Lagi-lagi pasal ini menimbulkan ketidakjelasan, dan ini mencerminkan ketidaktahuan DKP akan adanya kearifan lokal yang dikenal dengan hak ulayat laut yang mempunyai hak khusus dalam melakukan pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumber daya dan menghindari konflik.
Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mempunyai kekuatan hukum adalah Panglima Laot (Aceh), Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi (Maluku) serta beberapa hak ulayat laut yang ada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di Desa Para, Salurang, Ratotok dan Bentenan (Sulawesi Tenggara) serta Desa Endokisi (Papua). Hak ulayat tersebut diakui dalam Pasal 6 ayat (2) UU No 31/2004. Artinya, secara tidak sadar pemerintah telah membenturkan nelayan.
Ketiga, dimasukannya perwira TNI AL dalam penyidikan (Pasal 73). Selama ini, nelayan memahami bahwa di wilayah kedaulatan Indonesia sejauh 12 mil (laut teritorial) hanya Polri dan PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan ketentuan hukum pidana lainnya.
Sedangkan, TNI-AL berhak dalam melakukan penyidikan di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan Pasal 14 UU No 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Batas Wilayah
Sosialisasi UU No 31/2004 belum sampai ke daerah. Khusus untuk nelayan, pemerintah harus menjelaskan masalah pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikansecara gamblang, karena permasalahan daerah dan jalur tangkapan inilah yang kerap menimbulkan konflik. Apalagi ketidakjelasan mengenai batas wilayah tangkapan dihadapkan pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pasal itu disebutkan kabupaten/kota mempunyai wewenang hingga 4 mil ke arah laut, sedangkan propinsi 12 mil.
Sebenarnya, pemerintah tidak usah pusing mengenai pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikan, karena ketentuan ini sudah diatur dalam SK Menteri Pertanian No 392.Kpts.IK.120/4/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. Dengan ditegakkannya aturan ini, konflik sosial dapat diselesaikan dan keberlanjutan usaha nelayan kecil dapat dijamin.
Hal ini disebabkan jalur penangkapan satu yang lebarnya 3 mil laut dari titik terendah pada waktu air surut diperuntukan bagi nelayan kecil dan tertutup bagi kapal penangkap ikan bermesin dalam berukuran di atas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK, semua jenis jaring trawl, jaring pukat (purse seine), jaring lingkar (gill net), dan jaring (pukat) di atas 120 meter panjang rentangan (seine nets longer).

0 komentar:

Posting Komentar

Setelah Baca, Jangan Lupa Ya Untuk Berkomentar.