Minggu, 12 Februari 2012

TELAAH PERATURAN MENTRI KELAUTAN DAN PERIKANAN NO. PER/12/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia yang sudah semakin terbatas perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta sesuai dengan persyaratan yang telah diatur dalam ketentuan internasional, merupakan pertimbangan mendasar dari perubahan peraturan menteri perikanan dan kelautan nomor PER.05/MEN/2008 menjadi nomor PER.12/MEN/2009 tentang usaha perikanan tangkap. Perubahan ini meliputi 17 pasal dalam PERMEN 05/MEN/2008 yang berkaitan dengan perizinan dan sangsi atas pelanggaran terhadap perizinan. Pasal-pasal yang dirubah meliputi pasal 16,17, 22, 31, 33, 36, 45, 46, 47, 48, 61, 64, 66, 70, 75, 76, dan 80.

Secara substansial perubahan terhadap pasal-pasal dimaksud hanya menyangkut mekanisme pengangkutan ikan, pendaratan ikan yang tertuang dalam SIPI dan SIKPI disamping tatacara memperoleh SIPI dan SIKPI. Hal ini mengisyaratkan bahwa perubahan terhadap PERMEN dimaksud hanya menitik-beratkan pada upaya meningkatkan devisa negara dari sektor perikanan dan kelautan melalui pungutan pembiyayaan administrasi perizinan dari pada memproteksi pengelolaan usaha sumberdaya perikanan itu sendiri yang menjadi basis atau sektor vital dari tujuan pengelolaan dimaksud. Isyarat lain yang dapat dibaca dari perubahan PERMEN ini adalah semangat usaha pengelolaan sumberdaya perikanan lebih mengapresiasi industri skala besar, yang tentunya memiliki modal yang besar pula dan mengabaikan usaha nelayan kecil yang merupakan komponen masyarakat perikanan terbesar di Indonesia.
Oleh karenanya PERMEN 12/2009, sesungguhnya belum menyentuh subtansi dari usaha perikanan tangkap, yang sebelumya telah tertuang dalam PERMEN 05/2008. Beberapa hal mendasar yang harus menjadi subtansi dari pasal-pasal yang mendapat perhatian untuk disempurnakan adalah masaalah sumberdaya ikan, peningkatan produksi dan industri perikanan, Kebijakan di Pelabuhan perikanan, kebijakan kapal asing dan kebijakan log book.
(1)  Sumberdaya ikan

Dalam Pasal 30 ayat 1 dikemukakan bahwa ”jangka waktu berlakunya SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 akan dievaluasi setiap dua tahun atau apabila ketersediaan daya dukung sumberdaya ikan dalam kondisi kritis”. Dalam pasal tersebut disebutkan akan dievaluasi, tetapi tidak dijelaskan secara rinci bentuk evaluasi yang akan dilakukan. Apakah karena kondisi armada (unit penangkapan) yang tidak sesuai dengan SIUP? Apakah karena melanggar ketentuan SIUP, baik untuk kondisi armada maupun dari segi operasional armada, misalnya menyalahi daerah penangkapan ikan, atau menyalahi tempat pendaratan ikan? Belum dijelaskan secara mendetail, sehingga bentuk evaluasi yang dimaksud masih membingungkan. Kondisi kritis sumberdaya ikan juga tidak diberikan batasan yang jelas mengenai bentuk evaluasi yang akan dilakukan. Bagaimana bisa menentukan kondisi kritis jika tidak dilakukan kajian potensi dan habitat terkait keberlanjutan sumberdaya.
Pada ayat 2 Pasal 30 disebutkan ”kondisi kritis sebagaimana dimaksud ayat 1 ditetapkan dengan keputusan Menteri berdasarkan rekomendasi komisi nasional yang mempunyai tugas mengkaji sumberdaya ikan”. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kondisi sumberdaya ikan yang dimiliki Indonesia sangat lah belum jelas. Perkiraan yang dipergunakan saat ini yaitu potensi sumberdaya ikan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Angka yang cukup dramatis namun juga sangat menipu. Hal ini karena pihak komisi nasional yang mempunyai tugas mengkaji potensi stok sumberdaya ikan (komnaskajikanlut, komisi nasional pengkajian perikanan dan kelautan) sebenarnya tidak mengetahui secara pasti berapa besarnya angka potensi perikanan yang dimiliki. Sementara itu perijinan yang ada di Indonesia, khususnya dalam bidang perikanan tangkap, sangatlah mudah dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Misalnya saja kondisi perikanan di pantai utara Jawa yang disebutkan telah mengalami overfishing, namun jumlah perahu dari tahun ke tahun tidak pernah berkurang, justru semakin meningkat. Ada kecenderungan menambah perijinan kapal penangkap ikan oleh instansi yang berwenang dengan mengeluarkan SIUP tanpa melihat alasan sumberdaya. Jadi bisa disimpulkan bahwa aturan pada pasal ini cuma sekedar aturan tanpa ada tindakan yang nyata, baik dari dari instansi yang berwenang di tingkat kabupaten maupun di tingkat propinsi dan pusat. Karena itu alangkah baiknya jika dilakukan pengkajian stok sumberdaya ikan secara akurat untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap, bukan saja untuk kegiatan perijinan semata namun juga untuk menentukan arah kebijakan pengelolaan yang akan dilakukan. Karena kegiatan pengembangan usaha perikanan tangkap akan menjadi usaha yang sia-sia jika ternyata kondisi (stok atau potensi) perikanan yang dimiliki telah terjadi tangkap lebih (overfishing).

(2)  Peningkatan Produksi dan Industri Perikanan
Dalam upaya meningkatkan produksi perikanan nasional untuk mendongkrak pendapatan negara dari sektor perikanan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan maka upaya pemerintah mengijinkan pengoperasian kapal asing tidaklah bijak dan sangat bertentangan dengan upaya pemerintah yang lain dalam hal pemberdayaan nelayan tradisional. Bahkan mungkin menutup peluang peningkatan nelayan untuk beroperasi jauh ke lepas pantai (perairan ZEEI) di samping kerugian negara akibat pencurian ikan secara legal maupun illegal masih belum tentu bisa diatasi. Jadi, kenapa tidak memberi kesempatan pada bangsa sendiri untuk mengelola dan mengembangkan penangkapan di ZEEI dengan penghapusan ijin kapal asing di Indonesia? Mengapa tidak berusaha mencukupi kebutuhan industri dalam negeri dan membuat kebijakan untuk kegiatan industri perikanan tangkap yang mampu meningkatkan posisi tawar bangsa di dunia internasional. Pasal-pasal yang menyangkut usaha nelayan skala kecil belum terakomodir dalam PERMEN ini.

(3)  Kebijakan di pelabuhan perikanan

Hingga kini semua pelabuhan Indonesia masih berstatus sebagai feeder port. Hal ini menjadi salah satu penyebab yang membuat ekonomi kita kurang kompetitif karena hampir 70% dari ekspor barang dan komoditas Indonesia harus dilakukan melalui hub port Singapura (Dahuri 2008). Kenyataan seperti inilah yang membuat pertumbuhan sektor industri perikanan menjadi lambat, karena kegiatan ekspor harus dilakukan melalui negara lain, sehingga akan menambah cost. Karena itu harusnya pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan kegiatan ekspor bisa dilakukan langsung dari dalam negeri, sehingga akan menekan cost, dan juga akan menumbuhkan sektor perekonomian yang lain di sekitar pelabuhan. Pelabuhan-pelabuhan yang ditunjuk sebagai check point umumnya masih kekurangan tenaga atau petugas pengawas, sehingga tidak berfungsi secara optimal. Di samping itu, hampir sebagian besar pelabuhan perikanan belum dilengkapi dengan kapal-kapal patroli dengan kemampuan yang tinggi untuk mengejar kapal-kapal penangkap ikan yang melakukan pelanggaran. Kegiatan pengawasan lebih banyak dilakukan oleh TNI AL yang memang bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia. Hal ini menunjukkan belum ada kerjasama yang saling menguntungkan antar sektor yang terkait.

(4)  Kebijakan kapal asing

Pasal 44 menunjukkan ketidak-konsistenan pembuat peraturan, pada pasal-pasal sebelumnya selalu disebutkan alasan klasik mengenai kondisi kritis sumberdaya, tetapi pada Pasal 44 disebutkan bahwa pembelian kapal (baik penangkap atau pengangkut ikan) wajib memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal dengan syarat-syarat tertentu, yang kesemuanya lebih pada persyaratan administrasi semata. Sedangkan pertimbangkan sumberdaya ikan sama sekali tidak diperhitungkan dengan seksama, sebagaimana selalu dijadikan alasan klasik pada pasal-pasal sebelumnya. Bagaimana jika kondisinya seperti sekarang, dimana sumberdaya telah menjadi barang yang langka dan mahal, sedangkan perijinan (pemberian ijin) dengan sangat mudahnya diberikan. Pola pikir yang sangat keliru mengenai pengaturan perijinan. Bagaimana selama ini yang ada adalah perijinan dan urusan administrasi sangat mudah dilakukan asalkan mempunyai uang untuk mengurusnya. Kemungkinan terjadinya kerusakan moral (moral hazard) dari para pegawai dan khususnya petugas-petugas pengawas masih relatif rendah. Persoalan ini penting untuk dikemukakan karena bagaimanapun canggih dan modernnya peralatan pengawasan yang ada akan tidak berarti bila dihadapkan pada petugas pelaksana yang tidak mempunyai integritas yang tinggi terhadap tugas dan tanggung jawabnya.

(5)  Kebijakan log book

Pasal 89 menyebutkan setiap nahkoda atau fishing master wajib mengisi log book penangkapan ikan dan pengangkutan ikan serta menyerahkan kepada Dirjen melalui kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI. Mekanisme pengisian log book perikanan dari awal tidak efektif karena nelayan cenderung tidak mengisi dan menyerahkan ke pihak pelabuhan hanya dengan informasi nama kapal dan pemiliknya saja, sedangkan informasi daerah penangkapan biasanya tidak ditulis atau pun jika ditulis tidak merupakan lokasi fishing ground yang sesungguhnya karena nelayan tidak ingin lokasi penangkapannya diketahui oleh pihak atau nelayan lain. Kasus seperti ini misalnya terjadi di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC), dimana justru petugas pelabuhan yang sibuk membuat laporan log book dengan informasi seadaanya dari pihak nelayan. Harusnya sistem pelaporan seperti log book sudah harus ditinggalkan, diganti dengan model transmitter dengan VMS (vessel monitoring system), walaupun model ini juga masih bermasalah. 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ini gara-gara menterinya bego pak, lebih sibuk urus politik,..
kasian indonesia ku, laut yang begitu luas dan kaya disia-siakan :((

Posting Komentar

Setelah Baca, Jangan Lupa Ya Untuk Berkomentar.